Jadi Manusia Biasa Aja

 


Halo Gue Wahyu!

Jadi pemimpin itu susah, setidaknya itu yang sering gue rasakan. Gue juga bingung kenapa kadang gue mau diminta untuk jadi pemimpin dalam suatu kegiatan atau kelompok, sampe akhirnya gue sadar kalau ternyata gue nggak terlalu suka atau menikmati untuk in-charge terhadap suatu tanggung jawab yang besar. Sepertinya gue emang ditakdirkan untuk menjadi oposisi dan mengerjakan sesuatu berdasarkan porsi yang telah dibagi oleh sosok pemimpin lainnya.

Ya, karena hal itu, gue pengin jadi biasa-biasa aja.

Gue merasa udah turut berpartisipasi di dalam kelompok masyarakat dengan menjadi orang yang pasif. Menurut gue setiap orang punya porsinya masing-masing. Dalam arti, udah ada orang-orang yang aktif dan bersedia in-charge, ya gue jadi pelengkap aja dikomunitas itu. Apakah itu salah? bagi gue enggak, yang salah adalah ketika pasifnya gue malah jadi penghambat dikomunitas tersebut. Bedain ya, pasif sama mati. Lagian kalau semua orang aktif dan pengin jadi pemimpin, yang ada bakal kacau.

Ada pertanyaan nyeleneh yang pernah diajukan ke gue. Katanya, gimana caranya ngebentuk dunia yang ideal kalo gue sendiri masih bersikap biasa-biasa aja sama hal disekitar?

Gue berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan itu, kira-kira apa yang bisa gue lakukan untuk membuat dunia ideal untuk gue dan sekitar? Gue menjawab dengan berpartisipasi apa yang gue bisa untuk gue lakukan dan apa yang gue percaya untuk gue yakini. Misalnya gue nggak suka sama orang yang berisik di busway, maka gue juga nggak boleh berisik ketika di busway atau kendaraan umum lainnya. Atau gue nggak mau nunggu orang yang datang terlambat, maka gue juga nggak boleh bikin orang lain nunggu karena gue terlambat. Sebisa mungkin gue berperilaku seperti sebagai mana gue pengen orang lain berperilaku demikian ke gue.

Terdengar individualis memang, cuma itu bagian dari cara gue untuk tidak mempersulit diri sendiri. Gue baru akan bergerak ketika kegiatan itu penting untuk gue.

Tapi kalau untuk nolong orang, konteks itu menjadi pengecualian. Gue nggak perlu berpikir apakah itu penting untuk dilakukan atau tidak, yang pasti tubuh ini akan secara otomatis tergerak untuk membantu. Karena bagaimana pun, sebagai manusia gue masih terlahir memiliki rasa peduli dan empati, gue jua masih punya rasa kepedulian terhadap sekitar. Nggak melulu soal gue doang.

Jadi, setelah baca tulisan ini, apakah lu bisa tau gue setuju atau nggak dengan Infinite Tsukuyomi yang ingin diwujudkan Madara? Hmm.. jawabannya adalah.. 

Posting Komentar

0 Komentar